Kelas Pertama Adalah Para Nabi Dan Para Wali,
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِي الْأَمَلِ عَلَى ثَلاَثٍ أَصْنَافٍ ، اَلصِّنْفُ اْلأَوَّلُ : وَهُمُ السَّابِقُوْنَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيْقِيْنَ لَا أَمَلَ لَهُمْ أَصْلاً وَفَهُمْ عَلَى الدَّوَامِ مُسْتَشْعِرُوْنَ لِنُزُوْلِ الْمَوْتِ بِهِمْ
Yaitu orang-orang yang tidak mempunyai cita-cita harapan sama sekali di dalam hidup di dunia. Maknanya di sini adalah mereka senantiasa merasakan akan datangnya kematian terhadap diri mereka sehingga mereka sudah tidak punya harapan sedikitpun akan adanya keinginan untuk memiliki dunia.
Di sini bukan berarti mereka tidak punya dunia, akan tetapi dunia datang kepada mereka namun tidak dilihatnya. Kalau mereka dihadapkan kepada dunia, baik itu berupa pujian atau hinaan, pengagungan atau dijelekan, dikenal maupun tidak dikenal orang, maka semuanya adalah sama.
Bagi mereka tidak ada beda antara emas dan pecahan genting, keduanya adalah sama dihadapkan mereka. Karena orang-orang yang masuk dalam golongan kelas pertama ini senantiasa merasa bahwa kematian selalu dekat dan akan datang menghampirinya.
مُسْتَعِدُوْنَ لَهُ بِالْإِقْبَالِ الدَّائِمِ عَلَى اللّٰهِ وَعَلَى طَاعَتِهِ ، مُتَفَرِّغِيْنَ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا بِالْكُلِّيَّةِ ، إِلَّا مَا كَانَ مِنْهَا ضَرُوْرِيّاً فِيْ حَقِّ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْ حَقِّ مَنْ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْهُ مِنْ أَتْبَاعِهِمْ
Golongan kelas pertama ini selalu siap untuk datang menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena telah mempersiapkan diri untuk senantiasa taat dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka sudah lupa dengan dunia secara keseluruhan, tidak menoleh dan tidak ada waktu sedikitpun dengan urusan dunia.
Perbedaan Antara Sholat Sunnah Qiyamul Lail dan Tahajud
Sisa waktu yang digunakan untuk dunia hanyalah sebatas waktu dhoruri yakni waktu dimana mereka harus memberikan nafkah dan mencari rizki yang halal untuk dirinya sendiri dan keluarganya guna mencukupi kebutuhan kehidupannya dan keluarganya sehari-hari.
وَقَدْ صَارُوْا مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى اللّٰهِ وَعَلَى الدَّارِ الْآخِرَةِ بِحَيْثُ لَوْ قِيْلَ لِأَحَدِهِمْ : إِنَّكَ مَيِّتٌ غُداً لَمْ يَجِدْ مَوْضِعاً لِلزِّيَادَةٍ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ الصَّالِحِ ، لِاِنْتِهَائِهِ فِيْهِ إِلَى الْغَايَةِ الْقُصْوَى الَّتِيْ لَيْسَ وَرَاءَ هَا غَايَةِ وَكَذٰلِكَ لَا يَجِدْ شَيْئاً يَتْرُكُهُ ، لِأَنَّهُ قَدْ تَرَكَ كُلَّ شَيْءٍ لَا يُحِبُّ أَنْ يَنْزِلَ بِهِ الْمَوْتَ وَهُوَ مُلَابِسٌ لَهُ
Kalau seandainya dikatakan kepada mereka golongan kelas pertama ini bahwasanya besok mereka akan mati maka tidak akan takut dan selalu siap menghadapinya dikarenakan mereka sudah memenuhinya dengan berbagai amalan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan semua amal keburukan sudah mereka tinggalkan. Hal ini sebagaimana dirasakan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam. Beliau shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam bersabda,
وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا رَفَعْتُ قَدَمِيْ فَظَنَنْتُ أَنِّيْ أَضَعُهَا حَتَّى أُقْبَضُ ، وَلَا رَفَعْتُ لُقْمَةً فَضَنَنْتُ أَنِّيْ أُسِيْغُهَا حَتَّى أُغَصَّ بِهَا مِنَ الْمَوْتِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya tidaklah aku melangkahkan telapak kakiku (kecuali) aku mengira tidak dapat menapakkannya kembali, karena kematian telah menghampiriku, dan tidak pula aku angkat sesuap makanan (kecuali) aku ragu dapat menelan sesuap makanan itu sampai aku tersendat olehnya karena mati”.
Diceritakan pada saat Sayyidil Habib Umar bin Hafidz sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba datang seseorang yang berkata buruk terhadapnya, menghina dan memaki-makinya. Salah satu muridnya yang melihat kejadian itu pun geram dan ingin menghajar orang yang memaki gurunya itu.
Namun, Habib Umar bin Hafidz melarang dan justru mempersilahkan orang yang memakinya terus berbicara. Setelah selesai majelis, Habib Umar bin Hafidz kemudian menghampiri orang yang memakinya tadi lalu memintanya untuk mengambil tangannya dan menciumi tangan orang tersebut. Sontak menangislah orang itu kemudian ia pun memeluk Habib Umar sambil berkata,
“Ya Habib, saya mempunyai lima orang anak, tidak ada satupun diantara mereka yang mencium tangan saya. Tapi kamu orang yang saya benci dan saya caci maki, kamu cium tangan saya?”.
Lihatlah betapa mulianya akhlak dzurriyat nabi yang dicontohkan oleh Sayyidil Habib Umar bin Hafidz. Tidak terbesit pun di dalam hatinya ada benih rasa kebencian meskipun ia telah dicaci maki dan dihina dihadapan khalayak banyak.
Kemudian diceritakan pula, pada suatu ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari, salah seorang ualma besar pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama sedang dalam perjalanan pulang setelah pengajian. Di tengah perjalan beliau melihat ada seorang penjual durian di pinggir jalan. Ia pun turun dari mobil dan menghampiri penjual durian tersebut.
Kepada si penjual, kiai Hasyim Asy’ari mengatakan ingin membeli semua durian yang ia jual dan memintanya untuk dimasukan ke dalam mobilnya. Setelah itu sang Kiai Hasyim Asy’ari mangambil setumpuk kantong berisi uang dan memberikan semuanya kepada si penjual durian tersebut. Kalau dihitung jumlah uang yang ada di dalam kantong itu jauh lebih besar dan lebih banyak dibandingkan harga durian yang semestinya dibayarkan. Begitulah sosok ulama teladan yang tidak lagi memandang dan menoleh kepada dunia.
Dalam kisah yang lain, Sayyidil Habib Ali Al Jufri pernah menceritakan bahwa suatu ketika Sayyidil Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mendapatkan hadiah uang sebesar 250 juta riyal Saudi. Kalau dikonversikan ke dalam kurs rupiah saat ini (26/11/2017) maka nilainya sama dengan Rp. 900.225.000.000 atau 900 Milyar lebih.
Begitu sang habib menerima uang tersebut, ia bergegas langsung pergi dengan mobilnya dan kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang yang ia temui di jalan. Hanya dalam waktu sekitar satu jam uang yang ia terima tersebut sudah habis dibagi-bagikan. Sekitar jam tujuh Habib Abdul Qadir Assegaf berangkat dan jam delapan di hari yang sama, ia sudah pulang kembali ke rumahnya di Jeddah. Pulang dalam keadaan sudah tidak memiliki dan memegang uang tersebut sama sekali.
Inilah kelompok golongan kelas yang pertama, kelasnya para Nabi dan Wali Allah subhanahu wa ta’ala.
Perbedaan Sholat Sunnah Dhuha dan Shalat Isyraq (Syuruq)
Kelas Kedua Adalah Orang-Orang Yang Berada Di Tengah-Tengah,
وَالصِّنْفُ الثَّانِيْ : وَهُمُ الْمُقْتَصِدُوْنَ مِنَ الْأَخْيَارِ، وَالْأَبْرَارِ لَهُمْ أَمَلٌ قَصِيْرٌ لَا يُلْهِيْهُمْ عَنِ اللّٰهِ وَعَنْ ذِكْرِهِ، وَلَا يُنْسِيْهُمُ الدَّارَ الْآخِرَةْ، وَلَا يُشْغِلُهُمْ عَنِ الْاِسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ، وَلَا يَحْمِلُهُمْ عَلَى عِمَارَةِ الدُّنْيَا وَتَزِيْيِنِهَا ، وَالْاِغْتِرَارُ بِزَخَارِفِهَا وَشَهَوَاتِهَا الْفَانِيَةِ الْمُنَغِّصَةِ.
Adalah golongan orang-orang yang baik, yang mana mereka mempunyai cita-cita harapan tetapi harapannya pendek tidak sampai melalaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak melalaikan hari kebangkitan. Mereka tetap mengingat dan mempersiapkan yang namanya kematian, tetapi tidak terbesit di dalam pikirannya untuk memakmurkan yang namanya dunia dan tidak tertipu dengan kegemerlapan dunia. Mereka sama seperti manusia yang lain yang butuh bekerja, membutuhkan makan dan minum, perlu menikah, dan suka dengan harta, akan tetapi semuanya itu tidak sampai membuatnya lalai dan lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Golongan kelas kedua yang berada di tengah-tengah ini diberikan kekuatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tidak seperti golongan orang-orang yang berkedudukan di kelas pertama sebelumnya yakni para Nabi dan Wali Allah subhanahu wa ta’ala. Meski begitu, golongan kelas kedua ini juga penting, kenapa?.
Kalau seandainya semua orang selalu dan selalu ingat kepada kematian maka akan terbengkalai urusan kehidupan manusia di dunia ini. Kita tidak akan menemukan orang yang bekerja, tidak ada lagi yang berjualan di pasar, tidak ada orang yang bersekolah, tidak ada yang mau membangun masjid, pondok pesantren, majelis taklim, dan lain-lain. Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala juga membentuk golongan kelas yang kedua agar roda kehidupan di dunia ini bisa berjalan dengan baik.
إِنَّ مِنَ اْلأَمَلِ رَحْمَةٍ، أَعْنِيْ هَذَا الْأَمَلُ الَّذِيْ لَوْلَا وُجُوْدُهُ لَتَزَلَّزَتْ أُمُوْرُ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا
Karena sesungguhnya harapan itu adalah rahmat, yang kalau tidak ada harapan maka akan goncang yang namanya perkara akhirat dan dunia. Jika tidak ada harapan maka tidak mungkin ada yang namanya bangunan masjid, pondok pesantren, majelis taklim, dan lain sebagainya.
Diceritakan bahwa tatkala Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang sulbinya maka tampaklah semua manusia yang hidup sejak zaman dahulu kala hingga akhir zaman. Ketika itu para malaikat yang melihat betapa banyaknya jumlah anak cucu Nabi Adam berkata,
يا ربَّنا لَا تَسَعُّهُمُ الدُّنْيَا
“Ya Allah, tidak cukup dunia buat mereka”.
Allah subhanahu wa ta’ala menjawab,
إِنِّيْ جَاعِلٌ مَوْتاً
“Aku sudah jadikan untuk mereka kematian”.
Malaikat bertanya kembali,
لَا يَهَنَؤُهُمُ الْعَيْشُ
“Kalau begitu ya Allah, kalau engkau ciptakan kematian lalu untuk apa mereka itu hidup?”
Allah subhanahu wa ta’ala menjawab,
إِنِّيْ جَاِعلٌ أَمَلاً
“Aku jadikan mereka harapan dan harapan sehingga lupa dengan kematian”.
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلَائِكَةُ يَقُوْلُوْنَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا انْصَرَفُوْا عَنْ قَبْرِهِ: اِنْصَرِفُوْا إِلَى دُنْيَاكُمْ، أَنْسَاكُمُ اللّٰهَ مَوْتَاكُمْ
Sesungguhnya ketika seseorang mengantarkan mayat ke tempat kuburannya, para malaikat berkata kepada ahli mayyit yang mengantarkan mayat tersebut di saat mereka pulang dari kuburan,
اِنْصَرِفُوْا إِلَى دُنْيَاكُمْ ، أَنْسَاكُمُ اللّٰهَ مَوْتَاكُمْ
“Hai kalian kembalilah kepada dunia kalian, semoga Allah melupakan kalian dari kematian saudaramu”.
Yang Terakhir, Kelas Ketiga Adalah Orang-Orang Yang Tertipu dan Dungu,
وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ: وَهُمُ الْمَغْرُوْرُوْنَ وَالْحَمْقَى الَّذِيْنَ طَالَ عَلَيْهُمُ الْأَمَلُ جِدّاً حَتَّى أَنْسَاهُمُ الْآخِرَةْ ، وَأَلْهَاهُمْ عَنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ ،وَأَقْلَبُوْا بِقُلُوْبِهِمْ عَلَى مَحَبَّةِ الدُّنْيَا
Yaitu, orang-orang yang ketika dihidupkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dunia mempunyai cita-cita harapan yang panjang sehingga sampai melalaikan kehidupan akhirat. Mereka tidak lagi mengingat akan datangnya kematian dan lebih mencintai dunia dan tamak kepada dunia. Tidak terlintas sedikitpun di dalam benaknya akan kematian. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi dan menjauhkan kita dan keluarga kita serta anak keturunan kita dari golongan kelas ketiga ini.
Keutamaan Para Ulama dan Anjuran Menghadiri Majelis Ilmu
Wallohu a’lam bish-showab.
(Disarikan dari kajian rutin yang disampaikan oleh Sayyidil Habib Alwi bin Ali Al Habsyi, Pengasuh Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Surakarta, dalam rutinan kajian Ahad pagi Majlis Taklim Al Hidayah Surakarta, pada 08 Rabi’ul Awwal 1439 H/ 26 November 2017 M, yang bertempat di Base Camp Riyadhul Jannah Surakarta, dengan sedikit catatan penambahan/ pengurangan).
Semoga bermanfaat dan matur Nuwun.
::
النصائح الدينية والوصايا الإيمانية للحبيب عبدالله بن علوي الحضرمي:
——————-
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِي الْأَمَلِ عَلَى ثَلاَثٍ أَصْنَافٍ ،
اَلصِّنْفُ اْلأَوَّلُ : وَهُمُ السَّابِقُوْنَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيْقِيْنَ
لَا أَمَلَ لَهُمْ أَصْلاً
وَفَهُمْ عَلَى الدَّوَامِ مُسْتَشْعِرُوْنَ لِنُزُوْلِ الْمَوْتِ بِهِمْ
، مُسْتَعِدُوْنَ لَهُ بِالْإِقْبَالِ الدَّائِمِ عَلَى اللّٰهِ وَعَلَى طَاعَتِهِ ، مُتَفَرِّغِيْنَ عَنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا بِالْكُلِّيَّةِ ، إِلَّا مَا كَانَ مِنْهَا ضَرُوْرِيّاً فِيْ حَقِّ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْ حَقِّ مَنْ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْهُ مُنْ أَتْبَاعِهِمْ .
وَقَدْ صَارُوْا مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى اللّٰهِ وَعَلَى الدَّارِ الْآخِرَةِ بِحَيْثُ لَوْ قِيْلَ لِأَحَدِهِمْ : إِنَّكَ مَيِّتٌ غُداً لَمْ يَجِدْ مَوْضِعاً لِلزِّيَادَةٍ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ الصَّالِحِ ، لِاِنْتِهَائِهِ فِيْهِ إِلَى الْغَايَةِ الْقُصْوَى الَّتِيْ لَيْسَ وَرَاءَ هَا غَايَةِ وَكَذٰلِكَ لَا يَجِدْ شَيْئاً يَتْرُكُهُ ، لِأَنَّهُ قَدْ تَرَكَ كُلَّ شَيْءٍ لَا يُحِبُّ أَنْ يَنْزِلَ بِهِ الْمَوْتَ وَهُوَ مُلَابِسٌ لَهُ .
وَإِلَى مَا ذَكَرْناَهُ مِنْ حَالِ هَذَا الصِّنْفِ الشَّرِيْفِ الْإِشَارَةِ بِقَوْلِهِ -صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- (( وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا رَفَعْتُ قَدَمِيْ فَظَنَنْتُ أَنِّيْ أَضَعُهَا حَتَّى أُقْبَضُ ، وَلَا رَفَعْتُ لُقْمَةً فَضَنَنْتُ أَنِّيْ أُسِيْغُهَا حَتَّى أُغَصَّ بِهَا مِنَ الْمَوْتِ ..)) الحديث .
وَكَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ رُبَّمَا يتيمَّم وَالْمَاء مِنْهُ قَرِيْب، فَيُقَالُ لَهُ فِيْ ذٰلِكَ فَيَقُوْلُ : (( لَا أَدْرِيْ لَعَلِّي لَا أَبْلُغْهُ )).
وَالصِّنْفُ الثَّانِيْ : وَهُمُ الْمُقْتَصِدُوْنَ مِنَ الْأَخْيَارِ، وَالْأَبْرَارِ لَهُمْ أَمَلٌ قَصِيْرٌ لَا يُلْهِيْهُمْ عَنِ اللّٰهِ وَعَنْ ذِكْرِهِ، وَلَا يُنْسِيْهُمُ الدَّارَ الْآخِرَةْ، وَلَا يُشْغِلُهُمْ عَنِ الْاِسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ، وَلَا يَحْمِلُهُمْ عَلَى عِمَارَةِ الدُّنْيَا وَتَزِيْيِنِهَا ، وَالْاِغْتِرَارُ بِزَخَارِفِهَا وَشَهَوَاتِهَا الْفَانِيَةِ الْمُنَغِّصَةِ.
وَلَكِنَّهُمْ لَمْ يُعْطَوْا مِنَ الْقُوَّةِ مِثْلَ مَا أُعْطِيَ الصِّنْفَ الْأَوَّلَ مِنْ دَوَامِ الْاِسْتِشْعَارِ لِنُزُوْلِ الْمَوْتِ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ، وَلَوْ دَامَ عَلَيْهِمْ ذٰلِكَ لَتَعَطَّلَتْ عَلَيْهِمْ أُمُوْرُ مَعَايِشِهِمْ اَلَّتِيْ لَابُدَّ لَهُمْ مِنْهَا ، وَرُبَمَا تَتَعَطَّلَ عَلَيْهِمْ أُمُوْرَ آخِرَتِهِمْ مِنْ غَلَبَةِ الذُّهُوْلِ وَالدَّهْشِ عَلَيْهِمْ ، فَأَنَّ اِسْتِشْعَارَ نُزُوْلَ الْمَوْتِ عَلَى الدَّوَامِ أَمَرٌ عَظِيْمٌ، لَا تَسْتَقِلْ بِحَمْلِهِ إِلَّا قُوَّةُ النُّبُوَّةُ أَوْ الصِّدِّيْقِيَّةُ الْكَامِلَةُ .
وَمِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ يُقَالُ : إِنَّ مِنَ اْلأَمَلِ رَحْمَةٍ، أَعْنِيْ هَذَا الْأَمَلُ الَّذِيْ لَوْلَا وُجُوْدُهُ لَتَزَلَّزَتْ أُمُوْرُ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا، وَإِلَى ذٰلِكَ الْإِشَارَةِ بِمَا بَلَّغْنَا أَنَّ اللّٰهَ تَعَالَى لَمَّا أَخْرَجَ ذُرِّيَّةَ آدَمَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْمِيْثَاقِ مِنْ ظَهْرِهِ وَرَأَتِ الْمَلَائِكَةُ كَثْرَتَهُمْ قَالُوْا : يا ربَّنا لَا تَسَعُّهُمُ الدُّنْيَا ! فَقَالَ تَعَالَى :(( إِنِّيْ جَاعِلٌ مَوْتاً)) ؛ فَقَالُوْا: لَا يَهَنَؤُهُمُ الْعَيْشُ ؟ فقال :(( إِنِّيْ جَاِعلٌ أَمَلاً )).
وَعَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ((إِنَّ الْمَلَائِكَةُ يَقُوْلُوْنَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا انْصَرَفُوْا عَنْ قَبْرِهِ: اِنْصَرِفُوْا إِلَى دُنْيَاكُمْ، أَنْسَاكُمُ اللّٰهَ مَوْتَاكُمْ )) والملائكة عليه الصلاة والسلام لا يدعون للمؤمنين بالشرِّ الذي هو طول الأمل المذموم ، بل بالخير الذي هو قصر الأمل – أعني القدر الذي لا يلهي عن الآخرة ، ويتيسر معه القيام بالمعايش التي لا غنى عنها – والله أعلم
وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ: وَهُمُ الْمَغْرُوْرُوْنَ وَالْحَمْقَى الَّذِيْنَ طَالَ عَلَيْهُمُ الْأَمَلُ جِدّاً حَتَّى أَنْسَاهُمُ الْآخِرَةْ ، وَأَلْهَاهُمْ عَنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ ،وَأَقْلَبُوْا بِقُلُوْبِهِمْ عَلَى مَحَبَّةِ الدُّنْيَا ، وَالْحِرْصِ عَلَى عِمَارَتِهَا ، وَجَمْعِ حِطَامِهَا ، وَالْاِغْتِرَارِ بِزَخَارِفِهَا وَزِبْنَتِهَا ، وَالنَّظَرْ إِلَى زَهَرَتِهَا الَّتِيْ نَهَى اللّٰهُ نَبِيْهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَنْ مَدَّ الْعَيْنِ إِلَيْهَا فَقَال تَعَالَى :(وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى)[طه:131].
فَتَرَى أَحَدَهُمْ لَا يَكَادُ يَذْكُرُ الْآخِرَةُ، وَلَا يَتَفَكَّرْ فِيْهَا، وَلَا يَخْطُرُ لَهُ أَمْرُ الْمَوْتِ وَقُرْبُ الْأَجَلِ، وَإِنْ خَطَرَ لَهُ نَادِراً لَمْ يَؤَثِّرْ فِيْ قَلْبِهِ شَيْئاً، وَإِنْ خَافَ مِنْ تَأْثِيْرِهِ فِيْهِ صَرَفَهُ عَنْهُ وَأَدْخَلَ عَلَى نَفْسِهِ مَا يُنْسِيْهِ ذٰلِكَ، حَتَّى لَا يَتَشَوَّشْ عَلَيْهِ إِقْبَالُهُ عَلَى الدُّنْيَا وَالتَّمَتُّعْ بِلَذَاتِهَا وَشَهَوَاتِهَا .
والأمل على هذا الوجه هو الأمل المردي المذموم على الإطلاق ، وصاحبه من الخاسرين الذين ألهتهم أموالهم وأولادهم عن ذكر الله، وسوف يقول عندما ينزل به الموت ويعاين الآخرة: (رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ)[المنافقون:10].
Sumber artikel https://is.gd/jXvAQf